Alhamdulillah, kita bisa berjumpa kembali pada kesempatan hari ini, kali ini pembahasan masih berkisar pada hadis, dan yang akan di bahas adalah pengertian hadis dhaif dan contohnya, silahkan dibaca.

Apabila terdapat kekeliruan mohon ingatkan saya melalui kolom komentar, sesungguhnya saya adalah makhluk yang tidak luput dari kesalahan.

Pengertian Hadis Dhaif

Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan kata dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits shahih yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :

هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِه

“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.”

Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :

هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ

“Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.”

Jadi hadis dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadits shahih dan hasan, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.

Contoh Hadits Dhaif

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

وَمَنْ أَتَي حَائِضَا أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي مُحَمَّدٍ

“barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.”

Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar :     فِيْهِ لَيِّنٌ  padanya lemah.

Hukum Periwayatan Hadits Dhaif

Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :

  1. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
  2. Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

Dalam meriwayatkan hadits dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :   رُوِيَ diriwayatkan,     نُقِلَ dipindahkan,     فِيْمِا يُرْوِيَ pada sesuatu yang diriwayatkan. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).

Pengamalan Hadits Dhaif

Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :

  1. Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al-a’mal) atau dalam hukum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
  2. Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hukum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
  3. Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :

    – Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits matruk), orang yang daya ingat hapalannya sangat kurang, dan berperilaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).

    – Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentangan dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hukum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).

    – Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.

Tingkatan Hadits Dhaif

Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.

Terima kasih sudah membaca, saya harap postingan pengertian hadis dhaif dan contohnya, dapat bermanfaat bagi kawan-kawan. Terima kasih,

Bagikan:

Dodi Insan Kamil

Seorang Digital Marketer yang berfokus pada Search Engine Optimization (SEO Spesialist) dan juga content writer yang menulis sesuai pesanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *