Waktos – Indonesia merupakan salahsatu negara dengan jumlah penduduk beragama muslim yang mencapat 90% atau 230 Juta Jiwa. Meskipun mayoritas muslim akan tetapi masyarakat Indonesia sangat toleran terhadap umat agama lain, sehingga pada saat ini terdapat 5 agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia.

Pada pembahasan kali ini kita akan membahas tentang toleransi Islam terhadap pemeluk agama lain dalam bingkai prinsip kebebasan beragama. Lantas bagaimana prinsip itu?

A. Prinsif Kebebasan Beragama

Agama islam tidak memaksa siapapun untuk memeluk agama islam, sebagai mana di jelaskan dalam al-Qur’an dalam Q.s Al-baqarah ayat 256 :

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ٢٥٦

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Pada ayat di atas dijelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam hal beragama atau menganut keyakinan agama.  Allah Swt menghendaki agar setiap orang merasakan sebuah kedamaian. Kedamaian hanya akan diraih oleh sebuah ke ikhlasan bukan paksaan.

Turun ayat tersebut sebagaimana dinukil oleh Ibnu Kastir yang bersumber dari sahabat Ibnu ‘Abbās adalah seorang laki-laki Ansar dari Bani Salim bin ‘Auf yang dikenal dengan nama Husain mempunyai dua anak laki-laki yang beragama Nasrani. Sedangkan ia sendiri beragama Islam. Husain menyatakan kepada Nabi sallalahu‘alaihi wa sallam. “Apakah saya harus memaksa keduanya? (Untuk masuk Islam?), kemudian turunlah ayat tersebut di atas.

Ayat yang selaras terdapat juga dalam Surah Yunus ayat  99 s.d 100 :

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ ٩٩  وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تُؤْمِنَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَعْقِلُوْنَ ١٠٠

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman? [99] Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak mengerti. [100]

Ayat di atas dengan tegas mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk beriman atau tidak. Dan untuk hal itu Allah menganugerahkan manusia potensi akal agar mereka menggunakannya untuk memilih. Dari ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa segala bentuk pemaksaan terhadap manusia untuk memilih suatu agama tidak dibenarkan oleh Al-Qur′an. Karena Allah hanya menghendaki iman yang tulus tanpa pamrih dan paksaan. Seandainya paksaan itu diperbolehkan maka Allah sendiri yang akan melakukan, dan seperti dijelaskan dalam ayat di atas Allah tidak melakukannya. Maka tugas para nabi adalah hanya untuk mengajak dan memberikan peringatan tanpa paksaan sedikitpun.

Pada ayat di atas terdapat klausa yang awalnya ditujukan kepada Nabi Muhammad. Yaitu, afa anta tukrihun-nāsa/apakah engkau memaksa manusia. Hal itu dipaparkan oleh Al-Qur′an terkait dengan sikap Nabi Muhammad SAW yang secara sungguh-sungguh ingin mengajak manusia semua beriman, bahkan sikap beliau terkadang berlebihan dalam arti di luar batas kemampuannya, sehingga hampir mencelakakan diri sendiri. Penggalan ayat di atas dari satu sisi menegur Nabi Muhammad SAW dan orang yang bersikap dan melakukan hal serupa, dan dari sisi yang lain memuji kesungguhannya.

Kaitan ini diliput oleh Al-Qur’an dalam ayat yang lain, dalam Surah al-Kahfi Ayat 6, Allah Swt berfirman :

 فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا ٦

 “Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an)”.

Dan juga dijelaskan dalam Surah Fātir Ayat 8 :

..فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرٰتٍۗ ..

“….Maka jangan engkau (Muhammad) biarkan dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka….”

Hak kebebasan manusia dalam memilih keyakninan merupakan sebuah anugerah yang diberikan Allah Swt. Hak inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia bisa menentukan takdirnya sendiri dengan memilih ingin memeluk agama yang benar (agama islam) atau agama lainnya, apapun yang manusia pilih pasti akan dimintai pertanggung jawaban nanti di akhirat.

Prinsip kebebasan dijelasakan dalam Surah al-Kahfi Ayat 29 :

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ …….

“Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”

Prinsip kebebasan merupakan pilar utama bagi tatanan masyarakat yang dibangun atas nilai-nilai al-Qur’an. Prinsip ini telah dipakai oleh nabi Muhammad Saw dalam berdakwah dan mengajarkan islam. Prinsip kebebasan beragama sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebenaran satu agama. Kalau persoalannya adalah tentang kebenaran agama, Maka Al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa hanya agama Islam-lah yang Haq (Surah Āli ‘Imrān : 19 dan 85). Maka prinsip diatas bukan berarti Al-Qur’an mengakui semua agama adalah benar, akan tetapi intinya manusia harus beragama dengan penuh kerelaan tanpa paksaan sedikitpun, sebab suatu yang manusia putuskan sekarang akan di pertanggung jawabkan nantinya.

Prinsif ini pernah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw, ketika di kota Medinah. Bukti ini dapat kita lihat di Piagam Medinah. Pada salah satu pasal tepatnya pasal 25 dalam piagam madinah dikatakan bahwa, “Sesungguhnya Yahudi Bani ‘Auf satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang Muslim agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka, kecuali orang-orang yang berlaku zalim dan berbuat dosa atau khianat, karena sesungguhnya orang yang demikian hanya akan mencelakakan diri dan keluarganya.”

Lebih rincinya lagi piagam perjanjian tersebut juga memuat dengan kelompok-kelompok Yahudi lain seperti Yahudi Bani al-Najjar (pasal 26), Yahudi Bani al-Haris (pasal 27), Yahudi Bani Sa’idah (Pasal 28), Yahudi Bani Jusyam (pasal 29), Yahudi Aus (pasal 30). Dari kutipan tersebut tergambar jelas bahwa Nabi Muhammad Saw, sebagai kepala negara di Medinah tidak pernah memaksa orang agar memeluk Islam. Dengan kata lain Nabi Saw telah memberikan jaminan kebebasan beragama kepada setiap orang. Dari sinilah dapat kita tangkap pesan utamanya bahwa setiap orang atau pemerintah wajib menghormati hak orang lain dalam menentukan pilihan keyakinannya.

B. Penghormatan Islam Terhadap Agama-agama Lain

Untuk menjelaskan tentang penghormatan Islam terhadap agama lain dapat dimulai dari melihat beberapa teks ayat yang menjelaskan tentang masalah tersebut. Diantara ayat-ayat tersebut adalah Surat al-Hajj/22: 40.

ۨالَّذِيْنَ اُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ اِلَّآ اَنْ يَّقُوْلُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ۗوَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ ٤٠

(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,(al-Hajj/22: 40)

Ungkapan diatas berkaitan dengan tema ini adalah, “Sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan manusia yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-mesjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa, seandainya manusia tidak tidak ada pembelaan terhadap tempat-tempat ibadah kaum Muslimin, maka kaum musyrikin akan melakukan tindakan agresi terhadap wilayah-wilayah tetangga mereka yang boleh jadi penduduknya menganut agama selain agama Islam. Agama selain Islam tersebut bertentangan dengan kepercayaan kaum musyrikin, akan dirobohkan pula biara-biara, gereja-gereja, dan sinagong-sinagong, serta mesjid-mesjid.upaya kaum musyrikin untuk menghapuskan ajaran tauhid dan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi kemusyrikan.

Pendapat diatas jelas memosisikan bahwa agama-agama selain Islam juga harus mendapatkan penghormatan yang sama dari komunitas kaum Muslim. Seperti tempat-tempat ibadah, serta beberapa simbol agama yang mereka sakralkan juga harus mendapatkan penghormatan. Ayat tersebut menegaskan bahwa toleransi beragama akan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat yang saling menghormati khususnya terhadap keyakinan agama masing-masing. Dari sinilah al-Qur’an melarang keras umat Islam untuk melakukan penghinaan terhadap keyakinan dan simbol-simbol kesucian agama
lain. Hal ini dinyatakan dalam Surat al-An’am/6: 108.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٠٨

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. al-An’am: 108)

Salah satu riwayat sebab turun ayat ini adalah tatkala Nabi SAW tinggal di Mekkah, orang-orang musyrikin dan mukmin mengatakan bahwa Nabi SAW sering mengejek berhala-berhala tuhan mereka. Mendengar hal ini mereka secara emosional mengejek Allah SWT. Kemudian mereka mengultimatum Nabi SAW dan orang-orang mukmin, mereka berkata, “Wahai Muhammad hanya ada dua pilihan, kamu tetap mencerca Tuhanmu?” Kemudian turunlah ayat diatas.

Kata tasubbu dalam ayat diatas, terambil dari kata sabba yaitu ucapan yang mengandung makna penghinaan terhadap sesuatu, atau penisbahan suatu kekurangan atau aib terhadapnya, baik hal itu benar demikian lebih-lebih jika tidak benar. Hal ini bukan berarti mempersamakan semua agama. Ayat diatas bukan seperti mempermasalahkan suatu pendapat atau perbuatan, juga tidak termasuk penilaian sesat terhadap satu agama, bila penilaian itu bersumber dari agama lain yang dilarang adalah menghina tuhan-tuhan orang lain tersebut. Larangan ayat ini bukan kepada hakikat tuhan mereka, namun kepada penghinaan, karena penghinaan tidak menghasilkan sesuatu kemaslahatan agama. Agama Islam pun datang untuk membuktikan kebenaran.

Ayat ini pun mengajarkan kaum Muslimin untuk dapat memelihara kesucian agamanya untuk menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar umat beragama. Karena muanusia mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya disinggung. Hal ini merupakan tabiat manusia, apapun kedudukan sosial dan tingkat pengetahuan, karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, Sedangkan hati merupakan sumber emosi. Berbeda dengan pengetahuan, yang mengandalkan akal dan pikiran. Karena dengan mudah seseorang dapat mengubah pendapat ilmiahnya, tetapi sulit mengubah kepercayaannya walaupun bukti-bukti kekeliruan kepercayaan telah ada dihadapnnya.

Sebagaimana penjelasan diatas, al-Qur’an mendorong kaum Muslimin untuk bekerja sama dengan pemeluk agama lain. dalam kaitan ini al-Qur’an memberikan petunjuk sebagaimana dipaparkan dalam surah al-Mumtahannah/60: 8-9.

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨ اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ٩

“Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri kamu (tidak melarang kamu) berbuat baik bagi mereka dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang adil. Allah hanya melarang kamu menyangkut orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari negeri kamu dan membantu dalam pengusiran kamu—untuk menjadikan mereka teman-teman akrab, dan barang siapa menjadikan mereka sebagai teman-teman akrab (tempat menyimpan rahasia), maka mereka itulah—merekalah orang-orang zalim.” (al-Mumtahannah/60: 8-9)

Ayat tersebut menunjukan bahwa Allah SWT tidak melarang kaum Muslimin untuk bekerjasama dengan komunitas agama lain sepanjang mereka tidak memusuhi, memerangi dan mengusir kaum Muslim dari negeri mereka. Bahkan al-Quran pun  menghalalkan kaum Muslim untuk memakan sembelihan golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dan juga menikahi perempuan ahli kitab yang menjaga kehormatan hal ini
diisyaratkan dalam surat al-Maidah/5: 5.

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗۖ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ ٥

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.” (al-Maidah: 5)

Atas dihalalkannya makanan dari hasil sembelihan ahli kitab dan juga perempuan-perempuan terhormat juga halal dinikahi oleh lelaki Muslim tentulah mengandung hikmah yang sangat dalam. Makanan dan pernikahan adalah dua hal yang amat pribadi dan seperti yang dituturkan oleh Sayyid Qutub bahwa Islam tidak cukup hanya memberikan kebebasan beragama kepada mereka, kemudian mengucilkan mereka, sehingga mereka eksklusif atau bahkan tertindas di dalam masyarakat yang mayoritas Islam, tetapi juga memberikan suasana partisipasi sosial, perlakuan baik dan pergaulan mereka. Maka makanan mereka menjadi halal bagi bagi kaum Muslimin juga halal bagi mereka. Hal ini dimaksudkan agar terjadi saling mengunjungi, bertemu, menjamu makanan, dan minuman dan agar semua anggota masyarakat berada di bawah naungan kasih sayang dan toleransi.

Demikian juga dengan dihalalkan bagi kaum Muslim untuk menikahi perempuan-perempuan ahli kitab yang menjaga kehormatannya merupakan sebuah tanda bahwa Islam sangat menghormati keyakinan mereka. Doktrin ini bias jadi tidak ada dalam agama lain. Bahkan penyebutannya yang digandengkan dengan perempuan-perempuan mukminat yang terhormat semakin menampakkan bahwa Islam sangat toleran terhadap agama lain.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an sangat menghormati perbedaan dan menghargai prinsip-prinsip kemajemukan yang merupakan realitas yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa taala. Sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an Surah al-Hujurat/49: 13,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat/49: 13).

Prinsip kemajemukan ini juga dapat ditemukan dalam firman Allah yang lain, yaitu pada Surah ar-Rum/30: 22, yang menyatakan bahwa perbedaan bahasa dan warna kulit manusia harus diterima sebagai kenyataan yang positif, karena hal ini merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ٢٢

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. ar-Rum/30: 22).

Perbedaan tersebut tidak harus diperselisihkan sehingga ditakuti, melainkan dijadikan titik tolak untuk berkompetisi menuju kebaikan, Surah al-Maidah/5: 48 menegaskan hal tersebut.

Menyikapi fakta pluralitas social tersebut al-Qur’an menganjurkan agar umat Islam mengajak umat yang lain (Yahudi dan Nasrani) untuk mencari suatu pandangan yang sama (kalimatun sawa’), hal ini ditegaskan dalam Surah Ali Imran/3: 64,

قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ ٦٤

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran/3: 64).

Di antara bentuk pengakuan dan pengohormatan Islam terhadap agama lain adalah disyariatkannya masalah jizyah. Hal ini ditegaskan dalam Surah at-Taubah/9: 29. Pengakuan dan penghoramatan keapada agama lain bukanlah mengakui kebenaran ajarannya. Dalam sejarah disebutkan tokoh seperti Kaisar Hiraqlius dari Byzantium dan al-Muqauqis dari Mesir yang mengakui eksistensi kerasulan Muhammad tanpa memeluk Islam.

Toleransi yang ingin dibangun Islam adalah toleransi tanpa mencampuradukkan akidah. Persoalan akidah merupakan suesuatu yang paling mendasar dalam setiap agama sehingga bukan menjadi wilayah untuk bertoleransi. Sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Kafirun/109: 1-6,

قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ ١ لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ ٢ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ ٣ وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ ٤ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ ٥ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ ٦

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.(2) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.(5) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.(6)

Sebab turun ayat ini menurut sebagian ulama adalah berkaitan dengan peristiwa ketika beberapa tokoh musyrikin di Mekah, seperti al-Walid bin al-Mugirah, Aswad bin ‘Abdul Mutalib, Umayyah bin Khalaf menwarkan kompromi kepada Rasul untuk tuntutan agama. Usul mereka adalah agar Rasul Bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka, dan mereka pun akan mengikuti ajaran Islam. Kemudian turunlah surah di atas yang mengukuhkan sikap Nabi Muhammad Saw.

Usul kaum musyrikin ditolak oleh Rasul karena tidak mungkin dan tidak logis pula terjadi penyatuab agama-agama. Setiap agama memiliki ajaran pokok dan perincian yang berbeda. Oleh karena itu, tidak mungkin perbedaan tersebut digabungkan dalam jiwa seseorang yang tulus terhadap agama dan keyakinannya. Kerukunan hidup antar-pemeluk agama yang berbeda dalam masyarakat yang plural harus diperjuangkan tanpa mengorbankan akidah.

Sumber buku : hubungan antar umat beragama

Bagikan:

Dodi Insan Kamil

Seorang Digital Marketer yang berfokus pada Search Engine Optimization (SEO Spesialist) dan juga content writer yang menulis sesuai pesanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *